Nama untuk sekolah Tarsisius, baik Tarsisius 1 dan Tarsisius 2 di Jakarta, Tarsisius Vireta di Tangerang ataupun Sekolah Tarsisius di Semarang, tidak bisa dilepaskan dari nama Santo Tarsisius, seorang kudus dalam Gereja Katolik yang hidup pada abad ke-3, masa-masa awal kekristenan di Eropa, tepatnya di kota Roma.
Pemberian nama Tarsisius pada sekolah-sekolah yang saat ini bernaung di bawah Yayasan Bunda Hati Kudus ( YBHK ) tentunya bukan tanpa maksud atau sekadar gagah-gagahan. Sudah pasti, para pastor MSC yang ditugaskan melayani umat di Paroki Kemakmuran, memilih nama Tarsisius untuk sekolah Tarsisius yang adalah milik paroki ini karena ada tujuan tertentu. Ada visi dan misi tertentu yang relevan dengan kisah kemartiran Santo Tarsisius itu sendiri.
Namun di sini tidak akan dibahas visi dan misi sekolah-sekolah Tarsisius. Kami hanya akan memperkenalkan siapakah Santo Tarsisius itu. Harapan kami, dengan mengenal Santo Tarsisius, para Tarsisian yang sedang bersekolah di sekolah-sekolah Tarsisius atau yang sudah menjadi alumnus Sekolah Tarsisius mengenal makna dan asal-usul nama sekolahnya serta mengambil inspirasi dari orang kudus remaja ini.
Santo Tarsisius: Nama untuk Sekolah Tarsisius
Situasi dan Kondisi Kekristenan Awal di Roma
Sudah sejak awal agama Kristen telah masuk ke jantung kekaiseran Romawi, yaitu kota Roma sendiri.
Tidak lama setelah konsili pertama di Yerusalem, Petrus murid yang sangat diandalkan Yesus itu menetapkan kota Roma sebagai tujuan kerasulannya. Santo Petrus adalah murid Yesus yang dipercayakan untuk memimpin Gereja-Nya sekaligus menjadi Paus Pertama yang Suksesi Apostoliknya diteruskan oleh para paus hingga Paus Fransiskus hari ini.
Tradisi tentang Petrus mengatakan bahwa karena takut pada serangan orang-orang Romawi yang dilakukan secara TSM ( terstruktur, sistematis dan massif ) terhadap kekristenan, paus pertama itu berencana melarikan diri dari kota Roma. Namun di tengan jalan ia berpapasan dengan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya memasuki kota Roma.
Petrus bertanya kepada orang itu, “Quo vadis?” Orang itu menjawab bahwa Ia akan pergi ke Roma untuk disalibkan kedua kalinya. Saat mengenali orang asing itu sebagai Yesus, Gurunya, Petrus diliputi penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam, sehingga memutuskan kembali ke kota Roma. Tertulianus menuliskan bahwa Petrus meninggal pada pada pemerintahan Kaiser Nero antara tahun 54-68. Nero adalah kaisar yang sengaja membakar kota Roma tetapi melancarkan tuduhan palsu terhadap orang Kristen sebagai pelaku pembakaran. Tujuannya jelas: menciptakan citra yang negative terhadap orang-orang Kristen sebagai kelompok yang haus darah, suka kekerasan dan psikopat.
Sejarawan Eusebius, kontemporer zaman Constantine, menulis bahwa Petrus “datang ke Roma, dan disalibkan dengan kepala di bawah, Cara kematian tersebut berdasarkan perintaan Petrus sendiri. Ia meminta agar disalibkan dengan kepala ke bawah sebagai tanda pertobatan dan tidak mau disejajarkan dengan proses penyaliban Tuhannya. Kuburannya masih ada hingga kini setelah ditemukan di bawah basilica Santo Petrus Roma. Santo Paulus juga mati sebagai martir dan dikuburkan di kota ini.
Selain kuburan dua rasul besar, kota Roma menyajikan begitu banyak saksi bisu penderitaan pengikut Kristus awal sebelum Kaisar Konstantinus Agung menetapkan kekristenan sebagai agama resmi kekaiseran tahun 313. Bahkan hingga hari ini, Roma secara transparan memaparkan perjalanan kekristenan sudah sejak awal mula. Dinding dan tonggak Coloseum yang menjadi saksi kekejaman terhadap orang-orang Kristen awal juga masih berdiri kokoh. Menyaksikannya, bayangan penderitaan pengikut Kristus di mulut singa lapar dan menjadi tontonan paling brutal para pejabat kafir Romawi begitu nyata dalam imajinasi.
Demikian pula keberadaan katekombe-katekombe yang seolah tidak tersentuh waktu merupakan saksi bisu awal perjuangan kehadiran Gereja di kota abadi ini.
Kisah Kemartiran Santo Tarsisius
Santo Tarsisius adalah seorang martir awal kekristenan di Roma. Keberadaan martir muda ini ditemukan dalam sebuah puisi yang ditulis oleh Paus Damasus untuk menghormatinya. Dalam puisi itu Paus Damasus membandingkan kemartiran Santo Tarsisius dengan kemartiran Santo Stefanus di abad pertama. Mereka sama-sama mati dirajam demi iman akan Yesus Kristus. Stefanus mati dirajam orang-orang Yahudi di Yerusalem dan Tarsisius yang sedang membawa Sakramen Mahakudus, mati diserang dan dirajam oleh teman-temannya yang kafir karena mempertahankan Sakramen Mahakudus yang adalah Tubuh Kristus sendiri.
St. Tarsisius lahir di Roma tahun 263 M. Dalam usia yang masih remaja, yaitu 12 tahun, ia menyerahkan dirinya menjadi Martir Kristus.
Paus Damasus menulis : “… Ketika sebuah kelompok jahat fanatic melempari diri Tarsisius yang membawa Ekaristi, ingin Sakramen itu tak dicemarkan, anak laki-laki itu lebih suka memberikan nyawanya daripada memberikan Tubuh Kristus kepada para anjing liar …”
Selain tulisan dari Paus Damasus, tidak ada catatan tentang kehidupan St. Tarsisius. Tradisi menyebutkan bahwa Santo Tarsisius adalah seorang putera altar yang menerima mahkota kemartiran saat sedang mengantarkan Sakramen Ekaristi bagi para tahanan kristiani yang akan dihukum mati.
Kemartirannya terjadi pada masa penganiayaan umat Kristiani di pertengahan abad ketiga, pada masa pemerintahan kaisar Valerianus.
Santo Tarsisius dimakamkan di Katakombe Santo Kalisitus di Roma. Sebuah Prasasti yang indah dikemudian hari dibangun oleh Paus Damasus dimakamnya.
Pengorbanan Tarsisius Untuk Sakramen Mahakudus
Walaupun baru beranjak remaja, Tarsisius muda memiliki keyakinan religius yang amat kuat. Penganiayaan dan penderitaan orang-orang kristiani sama sekali tidak membuat Tarsisius menjadi kecut, ciut nyali dan meragukan serta melepaskan iman kristianinya.
Bersama ibunya, Tarsisius secara rutin mengikuti misa pagi yang biasanya dilakukan di tempat-tempat tersembunyi atau katekombe.
“Kita sama seperti saudara-saudara kita yang rela mati demi iman akan Tuhan yang bangkit. Saat ini mereka sedang dalam penjara. Besok, mereka akan dilemparkan ke tengah singa lapar. Mereka hanya berharap agar sebelum mati di mulut singa- singa lapar itu, mereka menerima santapan kekal, Tubuh Tuhan yang Mahakudus. Siapakah yang rela ke penjara mengantar roti kudus ini?” demikian kata Imam setelah perayaan Ekaristi selesai.
Mendengar pertanyaan itu, umat saling memandang ketakutan. “Pastor, Anda tak boleh pergi. Pastor pasti ditangkap,” kata salah seorang umat.
Dari umat yang hadir ada seorang serdadu Roma yang baru saja bertobat. Mantan serdadu ini menawarkan diri untuk membawa Sakramen itu. Namun, umat juga keberatan karena mantan serdadu ini pun sedang dicari-cari.
Tarsisius merasa mampu melaksanakan tugas mulia itu. Tanpa bersuara, ia menengadah ke arah ibunya. Ibunya mengerti maksud Tarsisius dan menganggukkan kepala.
Tarsisius berdiri dan berkata, “Pastor, biarkan aku ke sana membawa Tubuh Kristus untuk saudara-saudara kita.”
Pastor menggeleng, “Engkau masih terlalu kecil, nak. Kalau serdadu Romawi menangkapmu, apa yang akan kamu perbuat?”
Tarsisius berusaha meyakinkan pastor. “Percayalah, Pastor. Saya akan berhati-hati dan menjaga Ekaristi Mahakudus ini supaya tiba dengan selamat.”
Melihat kesungguhan dan keberanian Tarsisius, imam itu lalu membungkus Sakramen Mahakudus dan memberikannya kepada Tarsisius.
Perjalanan melewati daerah serdadu Romawi aman. Namun, ketika melewati sebuah lapangan, ia melihat teman-temannya sedang bermain, halangan muncul. Teman-temannya mengajaknya bermain, tetapi Tarsisius menolak. Teman-temannya heran. Mereka mengerumuninya.
Ketika mereka melihat Tarsisius memegang sesuatu dengan tangan dada, mereka menarik tangan Tarsisius dan berusaha melihat apa yang ada di dalamnya. Tarsisius tidak melepaskan tangannya. Bahkan, ia semakin kuat mempertahankan apa yang dipegangnya.
Tarsisius terjatuh. Satu di antara anak-anak itu kesal, karena tidak berhasil melepaskan tangan Tarsisius. Katanya, “Ayo kita buktikan siapa yang paling kuat!” Ia mengambil batu dan melemparkannya ke arah Tarsisius. Tarsisius bergeming namun tangannya tetap melindungi sesuatu di dadanya. Bahkan ia semakin kuat memeluk Sakramen Mahakudus di dadanya. Anak-anak itu semakin marah dan brutal. Mereka merajam Tarsisius dengan batu berkali-kali.
Beberapa menit kemudian, Tarsisius sudah semakin tak berdaya. Tiba-tiba terdengar suara, “Berhenti…..! Mengapa kalian menganiaya dia?” Anak-anak itu lari terbirit-birit. Ternyata, suara itu berasal dari serdadu Romawi yang bertobat, yang sebelumnya telah menawarkan diri untuk membawa Sakramen Mahakudus. Mantan serdadu ini mengikuti Tarsisius dari jauh. Ia lari ke arah Tarsisius, memeluknya dengan perasaan sedih. Ia menggendong Tarsisius yang sudah tak berdaya. “Tarsisius, Tarsisius,” panggilnya dengan suara halus. Tarsisius membuka matanya yang memar dan berkata pelan, “Tubuh Kristus masih di tanganku.” Setelah mengatakan itu, Tarsisius menutup matanya.
Tarsisius meninggal dalam perjalanan pulang menuju katakombe. Jasadnya dimakamkan di katakombe santo Kalisitus, Roma.
Oleh Felix Tena Longa