Suatu kondisi atau perilaku sosial dikategorikan sebagai permasalah sosial atau tidak sangat bergantung pada apa yang disebut sebagai imaginasi sosiologis. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara keduanya. Di sini, kami akan memaparkan hubungan antara Permasalahan Sosial dan Imajinasi Sosiologis.
Imaginasi Sosiologis
Tidak ada individu yang tidak mempunyai masalah. Mungkin di antara kita, saudara, kenalan atau tetangga yang jatuh miskin karena terjerat pinjaman online yang saat ini lagi marak. Mungkin ada yang sedang menganggur karena pandemi virus corona atau bahkan nganggurnya sudah bertahun-tahun. Mungkin ada yang terkena virus corona atau masalah kesehatan lain. Mungkin ada yang terserang kolestrol atau gula darah karena pola makan yang tidak sehat. Dan mungkin yang sedang mengalami gizi buruk, terjebak perjudian, masalah alkoholisme dan lain-lain.
Ketika kita melihatnya secara langsung atau membaca masalah itu di koran, akan mudah bagi kita untuk berpikir bahwa apa yang dialami itu adalah masalah pribadi orang yang bersangkutan. Merupakan akibat dari keselahannya sendiri.
Terkait dengan kasus-kasus seperti itu, sosiologi memiliki pendekatan yang berbeda. Sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat, sosiologi tidak melihat kasus-kasus itu sebagai masalah individu semata. Semua masalah itu harus dihubungkan dengan aspek-aspek kemasyarakatan di mana individu itu hidup dan berada.
Inilah yang dikatakan oleh Charles Wright Mills, ( 1950 ) dalam bukunya The Sociological Imagination ( 1950 ). Menurut Mils, individu memiliki keterhubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Mills merasa bahwa banyak masalah yang dianggap sebagai masalah pribadi paling baik harus dipahami sebagai masalah masyarakat.
Untuk itulah ia menciptakan konsep “Imajinasi sosiologis”. Menurutnya, konsep ini bisa dipakai sebagai dasar untuk mempertanyakan masalah pribadi. Menurutnya, imajinasi sosiologis adalah penerapan pemikiran imajinatif untuk mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sosiologis ( pertanyaan yang terkait dengan elemen dan proses kemasyarakatan ). Dengan imaginasi sosiologis, individu melepaskan diri dari kehidupannya yang monoton dan mengembangkan pemahaman sejarah hidup sendiri dengan konteks masyarakatnya sebagai dua hal yang saling mempengaruhi.
Mils mengambil kasus pengangguran sebagai contoh. Jika hanya sedikit orang yang menganggur, kita dapat menjelaskan bahwa pengangguran itu disebabkan karena mereka malas atau tidak memiliki etos kerja yang baik. Kita mengatakan bahwa kemalasan itu merupakan masalah pribadi. Tetapi jika ada begitu banyak orang yang menganggur, pengangguran itu lebih baik dipahami sebagai masalah bersama sehingga mengharuskan kita untuk menghubungkannya dengan institusi ekonomi, politik serta struktur sosial lainnya.
Menyalahkan Korban versus Menyalahkan Sistem
Mendukung wawasan Mills, William Ryan ( Ryan, 1976 ), mengatakan bahwa orang Amerika biasanya berpikir bahwa kemiskinan dan pengangguran disebabkan karena korbannya yang malas dan memiliki masalah tertentu. Menggunakan istilah Mills, Ryan mengatakan bahwa orang Amerika cenderung menganggap masalah sosial lebih sebagai masalah pribadi daripada sebagai masalah public. Masyarakat cenderung menyalahkan korban ( blaming the victim ) daripada menyalahkan sistem (blaming the system).
Ia mempertegas klaimnya itu lewat sebuah contoh kasus: mengapa anak-anak miskin di perkotaan seringkali tidak masuk sekolah?
Pendekatan blaming the victim ( menyalahkan korban ) akan mengatakan bahwa kemalasan itu diakibatkan karena orang tua mereka yang tidak peduli, gagal mengajarkan kebiasaan belajar yang baik dan tidak mendorong anak-anaknya untuk serius bersekolah. Katanya, penjelasan itu mungkin berlaku untuk beberapa orang tua. Mamun, menurutnya, penjelasan itu mengabaikan beberapa alasan yang jauh lebih penting. Fakta anak-anak miskin perkotaan seringkali tidak masuk sekolah lebih disebabkan karena kondisi sekolah perkotaan Amerika yang penuh sesak, bangunan yang tua dan sumpek serta buku-buku pelajaran yang kumal dan ketinggalan zaman. Katanya, untuk memperbaiki kondisi itu, kita harus memperbaiki sekolahnya dan bukan hanya berupaya “memperbaiki” para orang tua murid.
Dari kasus itu, Ryan menyimpulkan bahwa pendekatan menyalahkan korban ( blaming the victim ) hasilnya terbatas dalam cakupan yang kecil dan tampak kurang efektif. Sedangkan pendekatan menyalahkan sistem ( blaming the system ) akan membuat para pembuat dan pelaksana kebijakan memusatkan perhatiannya pada cakupan masalah yang lebih luas yang mampu membantu masyarakat mengatasi masalah sosial yang sedang dihadapi.
Relevansinya Bagi Indonesia
Imajinasi sosiologis membantu individu untuk menghubungkan situasi kondisi yang ia alami dengan struktur sosial masyarakatnya. Ini akan membantu individu membangun kesadaran bahwa apa yang dialami, sejauh itu terkait erat dengan struktur masyarakat, harus diperbaiki dan tidak menerimanya begitu saja sebagai suratan nasib atau takdir.
Kuatnya pandangan “sudah menjadi nasib” inil bisa menjelaskan mengapa blaming the victim masih merupakan pendekatan yang umum dipraktekkan dalam masyarakat kita. Contoh yang memvalidkan klaim ini adalah pemberlakuan UU Pornografi beberapa tahun lalu setelah mengalami perdebatan yang panjang dan melelahkan.
Menyalahkan korban tidak akan membuat permasalahan sosial dalam masyarakat menjadi berkurang. Bahkan perilaku itu justru membuat korbannya semakin terpuruk karena mengalami kesialan secara ganda.
Selain itu, permasalahan sosial seolah tidak akan berujung karena kita sebagai warga masyarakat tidak kritis terhadap sistem sosial kita sendiri yang buruk, korup dan tidak manusiawi. Kita lebih suka mempersalahkan korban. Kita punya pepatah, “Buruk muka cermin dibelah.” Alih-alih merawat muka yang jelek agar terlihat bening dan kinclong. Kita lebih suka memecahkan cermin, sebuah benda mati yang tidak bersalah tetapi berguna.
Bila terus begini, “Kapankah Indonesia yang adil dan beradab itu tercapai?” Apakah bangsa Indonesia harus menunggu sampai zaman kuda gigit besi?
Oleh: Felix Tena Longa – Sumbernya: DI SINI – SILAHKAN KLIK